Sunday 10 March 2013

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah.


Matius 5 : 3 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”


Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Dari masa ke masa dan di pelbagai tempat selalu saja ada kemiskinan. Miskin menurut kamus bahasa Indonesia adalah tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Sementara kemiskinan adalah keadaan miskin itu sendiri. Mungkin bisa dikatakan kemiskinan adalah keadaan orang yang hidup di bawah standar penghasilan minimum daerah.





Kemiskinan membuat derajat orang berbeda, pada zaman Yesus, kemiskinan sangat terlihat. Karena kondisi Israel atau Yerusalem saat itu sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Pada saat itulah Tuhan Yesus hadir dan melayani orang-orang banyak dari pelbagai golongan.

Saat ini di kota-kota besar, kemiskinan justru jadi komoditi. Komoditi apa? Apalagi kalau bukan komoditi partai untuk pemilu. Karena banyaknya orang miskin di Indonesia, maka janji-janji menghibur/menolong orang miskin makin banyak.  Ada yang menawarkan kartu miskin, kartu sehat, kartu sekolah gratis dan lain-lain. Biar mereka dipilih oleh orang miskin itu.  Tapi tragis, semakin memunculkan kenyataan betapa miskinnya kita, terutama miskinnya nurani pejabat-pejabat tersebut. Contoh kasus: ada kejadian dilaporkan di TV ketika seorang bayi mati karena tidak tersedia incubator dan orang tuanya adalah pemegang kartu sehat. Satu sisi orang berpandangan miring bahwa RS kurang peduli dengan orang miskin. Tapi lain halnya jika ternyata RS tersebut kehabisan tempat karena melayani semua orang miskin. Janji menghibur/menolong orang miskin tidak disertai dengan fasilitas yang memadai. Tragis.

Pada zaman Yesus tidak ada penawaran atau penghiburan seperti itu. Bangsa Romawi tidak memikirkan kampanye merebut hati orang Israel. Tidak perlu bagi mereka. Demikian juga para tokoh masyarakat, mereka sudah “terlindungi” oleh struktur budaya yang menjadikan mereka lebih tinggi derajatnya.

Pada pasal 4 kita baca, setelah Yesus dicobai di padang gurun, Diapun mulai mengumpulkan calon-calon murid-Nya. Dalam perjalanan Dia menyembuhkan dan menolong banyak orang. Sepertinya, Yesus menjadi “kampanye hidup” untuk permasalahan kemiskinan. Dan ketika Dia mengkhususkan diri untuk berpidato (kotbah) di sebuah bukit, Dia berkata: “Berbahagialah orang yang miskin….”

Akan tetapi, apa artinya ini? Kita tidak bisa bayangkan jika untuk masuk Kerajaan Sorga membutuhkan kartu sehat atau kartu miskin bukan? Atau bahkan memakai surat keterangan tidak mampu dari kelurahan? Tentu tidak. Apa maksud miskin yang berbahagia ini?

Kalimat Yesus ini juga sedikitnya menyinggung orang-orang yang merasa dari golongan kaya. Orang-orang “non miskin” mengatakan bahwa kemiskinan itu karena orang tersebut malas, kurang pendidikan dan kurang berusaha. Terus jika demikian kenapa Tuhan Yesus tidak bilang saja agar orang-orang miskin mengubah cara hidup mereka?

Beberapa orang yang bersikap lebih terkesan rohani, mereka menerjemahkan perkataan Yesus ini dimaksudkan untuk hal-hal rohani saja, yaitu miskin rohani.  Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang miskin rohani justru dihadiahi Kerajaan Allah? Sama halnya kalau dikatakan miskin kepribadian ataupun moral. Lalu apakah makna miskin di hadapan Allah ini?

Selain menimbulkan pengharapan dan senyuman pada orang-orang miskin ini, tentu perkataan Yesus ini menimbulkan pertanyaan besar bagi mereka. Bagaimana mungkin miskin menjadi hal yang baik dan diberikan Kerajaan Allah?

Kita beruntung bahwa kita hidup di zaman yang sudah ada Alkitab sebagai Firman yang tertulis. Jika kita di zaman Yesus, tentu kitapun bingung seperti halnya para murid-murid Yesus. Karena memang demikian, sebelum Yesus bangkit, naik ke Sorga dan sebelum hadirnya Roh Kudus, para murid tetaplah para murid yang bingung. Namun setelah itu, mereka menjadi mengerti dan beralih dari para murid berubah menjadi para Rasul.  Kita memiliki Alkitab yang menunjukkan jelas maksud Yesus kepada kita.

Kotbah di bukit seperti sebuah silabus bagi Injil. Tiap ucapan berbahagia mewakili kisah-kisah selanjutnya dalam Injil Alkitab. Bahkan masih relevan sampai sekarang, seperti halnya orang percaya akan menderita karena nama Yesus, itupun disebut berbahagia.

Pada Matius 19:16-26, dikisahkan tentang seorang muda yang kaya raya dan taat pada Taurat. Orang muda ini bertanya pada Yesus: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Yesus mengerti betapa dangkalnya pertanyaan itu, karena dia mencari “perbuatan” yang dapat memberi hidup yang kekal.

Bukankah kebanyakan kita berpikir seperti orang muda ini? Seakan-akan ada perbuatan atau apa yang bisa dibayar untuk membeli keselamatan itu?  Mungkin orang muda ini tidak mendengar kotbah di bukit, tapi para murid jelas mendengar, berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.  Jadi orang kaya ini, tidak termasuk bukan?

Lihat bagaimana Yesus menjawab dia. Yesus berkata: “turutilah segala perintah Allah!”.  Wow…tentu tidak mudah melakukan seluruh perintah Allah bukan? Dalam Imamat saja begitu banyak perintah Allah, kurang lebih ada 200 perintah, yang satu saja tidak dijalani, maka semua dianggap gugur. Tetapi orang muda ini benar-benar hebat. Dia mengaku sudah menuruti segala perintah Allah. (Tentu saja dia berbohong, karena tidak mungkin menuruti semuanya bukan?)

Tetapi lihat bagaimana Yesus mengarahkan orang muda ini dan juga seluruh murid-murid-Nya tentang orang miskin yang bahagia itu. Dia berkata lagi pada orang muda itu: “Pergi juallah seluruh hartamu, bagikanlah pada orang-orang miskin maka kamu akan beroleh harta di Sorga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku!”.  Tetapi Alkitab mencatat, orang muda itu pergi dengan sedih sebab banyak hartanya.


Perhatikan, Yesus seakan-akan menyuruh orang muda kaya ini menjadi miskin dengan menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikannya, tetapi bukan untuk memperoleh Kerajaan Sorga, melainkan harta di Sorga. Perhatikan, bagi orang percaya, sudut pandang perbuatan baik bukanlah untuk membeli Sorga atau masuk Sorga, melainkan mengumpulkan harta di Sorga, artinya sudah memiliki Sorga. Tujuan akhir diskusi Yesus pada orang muda ini adalah untuk datang dan mengikut Dia. Kita bayangkan jika orang muda itu benar-benar menjual hartanya dan mengikut Yesus, pastilah kemudian dia menjadi salah satu Rasul besar dalam sejarah Kristen. Tapi, dia tidak terdengar lagi.

Yesus mengetahui ini dengan memberi pengajaran penutup bagi murid-muridnya dan berkata: “Sesungguhnya sangat sukar bagi orang kaya untuk masuk Kerajaan Sorga, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."

Wow tentu ini mengejutkan para murid dan pasti menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Namun mari kita lihat, ada cerita dibalik seekor unta melalui lobang jarum.  Pada zaman Yesus, Yerusalem dikelilingi tembok, dan pada waktu malam pintu gerbang akan ditutup sehingga tidak ada yang keluar masuk. Satu-satunya cara adalah sebuah pintu kecil di sisinya untuk masuk. Sehingga jika para musafir atau pedagang tiba setelah pintu di tutup, maka untuk memasukkan unta, seluruh barang harus diturunkan dan unta merayap masuk melewati pintu. Jika tidak, mereka harus berkemah di luar. Dan di luar itu sangat buruk pada musim dingin dan juga rawan perampok.  Jadi, unta ini bisa masuk kota dengan menanggalkan semua beban hartanya, sedangkan orang kaya ini, tidak bisa masuk kerajaan Sorga karena selalu memikul hartanya.

Jadi apa hubungannya silabus orang miskin berbahagia dengan orang kaya yang sangat sukar masuk Sorga ini?  Mari kita perhatikan:

1.   Untuk masuk Sorga, seseorang harus percaya dan mengikut Yesus dengan sepenuhnya.
2.   Untuk mengikut Yesus, seseorang harus “miskin di hadapan Allah” yaitu melepaskan seluruh miliknya dan menganggap dia tidak memiliki apa-apa dan sama seperti para murid, bergantung penuh pada Yesus.
3.   Orang yang mengikut Yesus pasti menyadari bahwa patokan hidupnya hanya pada Anak Allah. Standarnya adalah Yesus Kristus sendiri.

Jika kita mau menempatkan Tuhan Yesus sebagai standar hidup kita dan memang hanya Tuhan Yesus standar yang ditetapkan Allah, maka kita orang percaya akan menyadari bahwa kita miskin di hadapan Allah.  Definisi miskin pun menjadi baru yaitu kondisi berada di bawah standar Yesus Kristus.

Dibandingkan kekayaan dan kemuliaan Tuhan Yesus, tentu kita jauuuuuuh sangat miskin. Dibandingkan kualitas-kualitas rohani, pribadi dan moral Tuhan Yesus, kita teramat sangaaaaat miskin. Dari sisi kualitas maupun kuantitas manapun kita benar-benaaaaar miskin di hadapan Allah.

Tapi tidak banyak orang yang melihat hal ini bukan? Melihat diri miskin di hadapan Allah.  Hanya orang-orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus secara pribadi yang mengerti hal ini. Terlihat dari sukacita, sikap memberi, melayani tanpa pamrih bahkan tanpa ingin dipandang manusia lainnya (bahkan tersembunyi, misalnya pendoa). Dan orang-orang miskin di hadapan Allah seperti inilah yang memiliki Kerajaan Sorga dan yang sungguh-sungguh berbahagia. Amin.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman..”
Efesus 2 : 8a.